Setiap tanggal 21 Juni, kita memperingati Hari Krida Pertanian, sebuah momentum untuk menengok kembali peran strategis sektor pertanian dalam membangun ketahanan bangsa. Di balik angka produksi, teknologi tani, dan narasi pembangunan agraria, ada sosok yang sering luput dari sorotan namun tak tergantikan: perempuan petani.
Mereka bukan hanya bagian dari cerita panjang pertanian Indonesia—mereka adalah tulang punggungnya. Mereka adalah yang menanam dalam diam, memanen dalam sunyi, namun memberi makan dunia setiap hari. Maka menyambut Hari Krida Pertanian, kita tidak hanya berbicara soal pupuk, lahan, dan musim. Kita juga perlu bicara soal pengakuan dan keadilan bagi perempuan yang menjaga tanah dan pangan dari balik senyap.
Pangan bukan sekadar soal makan. Ia adalah soal hidup dan bertahan. Dan di balik narasi besar tentang ketahanan pangan nasional, terselip realitas kecil namun mendasar: siapa yang menanam, siapa yang memasak, dan siapa yang memastikan isi piring tetap bergizi meski harga pasar tak bersahabat. Dalam hal ini, perempuan memainkan peran yang lebih dari sekadar domestik—ia adalah penjaga, pengatur, sekaligus penggerak.
Sebagai kader perempuan KOPRI PMII Lamongan, saya memandang bahwa peran perempuan dalam sektor pertanian dan pengelolaan pangan keluarga sering kali tidak dihitung dalam angka statistik formal. Padahal, dari mulai menanam di pekarangan, mengolah hasil tani, hingga memutar otak dalam menyiasati pengeluaran dapur, perempuan adalah aktor utama dalam menjaga keberlangsungan pangan—baik di rumah tangga maupun komunitas.
Ketahanan Pangan Dimulai dari Ketahanan Keluarga
Istilah “ketahanan pangan” terlalu sering dikaitkan dengan kebijakan besar atau stabilitas harga komoditas nasional. Tapi faktanya, ketahanan pangan bermula dari ketahanan keluarga. Jika dapur rumah tangga tidak menyala, jika ibu rumah tangga tak mampu mengolah bahan makanan yang cukup dan bergizi, maka narasi besar tentang ketahanan nasional hanyalah mitos di atas kertas.
Dalam keluarga petani, peran perempuan begitu sentral. Ia bukan hanya mendampingi suami bertani, tetapi juga merancang strategi bertahan hidup saat gagal panen, ketika pupuk langka, atau saat harga jual hasil tani jatuh. Di sinilah saya melihat bahwa ketahanan keluarga tidak dapat dibangun tanpa penguatan terhadap peran perempuan—terutama mereka yang hidup di desa dan menggantungkan hidup dari sektor pertanian.
Perempuan, Pertanian, dan Hak yang Terabaikan
Sayangnya, hingga hari ini, banyak perempuan petani belum diakui sebagai subjek penuh. Mereka bekerja dari pagi hingga senja di ladang, tetapi nama mereka jarang tercatat dalam sertifikat lahan, kelompok tani, bahkan dalam program bantuan pertanian. Ini adalah bentuk pengabaian struktural yang tidak boleh kita diamkan.
Perjuangan untuk keadilan pangan juga adalah perjuangan untuk hak atas tanah, hak atas informasi, hak atas pendidikan pertanian yang adil gender, serta keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan—baik di tingkat desa maupun negara.
Dari Dapur Menuju Agenda Pembangunan Berkelanjutan
Berbicara soal pembangunan berkelanjutan, kita tak bisa hanya mengandalkan jargon “hijau” atau target-target global. Kita harus kembali melihat aktor-aktor kunci di akar rumput yang sesungguhnya sudah mempraktikkan prinsip keberlanjutan sejak lama—salah satunya adalah perempuan petani.
Mereka menanam tidak untuk menumpuk untung, tapi untuk bertahan dan berbagi. Mereka menjaga benih lokal, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan merawat tanah dengan kearifan tradisi. Inilah praktik keberlanjutan yang otentik—dan sayangnya, jarang mendapat tempat dalam perencanaan pembangunan yang terlalu teknokratik.
Sebagai kader KOPRI, saya melihat bahwa perjuangan perempuan dalam pertanian bukan soal nostalgia atau peran alami, tapi soal politik kehidupan. Siapa yang berkuasa atas benih, tanah, dan pangan hari ini, akan menentukan siapa yang bisa hidup esok hari.
Saatnya Gerakan Perempuan Menyentuh Tanah
Gerakan perempuan, termasuk di tubuh KOPRI, harus berani keluar dari sekat-sekat isu yang sempit. Perempuan tak hanya butuh ruang aman, tapi juga akses terhadap tanah, teknologi, modal usaha tani, dan partisipasi dalam pembangunan desa.
Sudah saatnya kader perempuan PMII—yang melek intelektual dan peka sosial—ikut bicara soal pangan, lingkungan, dan pertanian. Kita harus menyatu dengan gerakan petani perempuan, membangun koalisi dengan komunitas desa, dan menyuarakan keberlanjutan sebagai bagian dari visi Islam rahmatan lil ‘alamin.
Penutup: Hari Krida Pertanian dan Jalan Perubahan
Hari Krida Pertanian bukan hanya tentang selebrasi panen, tetapi juga refleksi: apakah pertanian kita sudah berpihak pada keadilan sosial, ekologis, dan gender? Apakah perempuan sudah benar-benar diberi tempat yang setara dalam sistem pertanian yang mereka jalankan setiap hari?
Sebagai kader perempuan PMII, saya percaya bahwa membicarakan pertanian tanpa membicarakan perempuan sama halnya dengan menghapus setengah kekuatan bangsa. Perempuan bukan pelengkap, mereka adalah pelaku utama. Maka menyambut Hari Krida Pertanian ini, mari kita mulai bicara tentang pertanian yang adil, pangan yang berdaulat, dan perempuan yang merdeka dalam setiap pengambilan keputusan.
Dari ladang ke ruang strategis, dari dapur ke forum kebijakan, perempuan telah menanam harapan. Kini giliran kita memanennya dengan penghargaan yang layak dan perubahan nyata.
Oleh:
Ike Nurul Fitrotus Shoimah
(Ketua KOPRI PC PMII Lamongan 2024-2025)