Ia adalah sosok yang hadir di mana kamera berada. Setiap langkahnya terdokumentasi dengan rapi, setiap jabatan tangan diubah menjadi konten, dan setiap pidato dirancang untuk viral. Namun, di balik gemerlap lampu sorot dan headline media, terdapat sebuah kehausan yang tak pernah terpuaskan: haus akan validasi.
Ini adalah potret pemimpin yang mengabdi pada citra, bukan pada rakyat. Kekuasaan baginya bukanlah alat untuk melayani, melainkan panggung untuk memuaskan dahaga akan pengakuan dan eksistensi. Ia mengukur keberhasilan bukan dari berkurangnya kemiskinan atau membaiknya infrastruktur, tetapi dari jumlah like, share, dan pujian di kolom komentar. Setiap kebijakan, seolah, dirumuskan dengan satu pertanyaan utama: “Bagaimana ini akan terlihat di media?”
Aktivitasnya padat, namun isinya hampa. Kunjungan kerjanya adalah drama yang dipentaskan untuk menunjukkan “kedekatan”, bukan untuk mendengar keluhan. Peresmian acara seremonial berulang kali dilakukan untuk tema acara yang sama, seolah-olah dengan datang, duduk, lalu sambutan, masalah telah selesai. Rapat-rapat penting lebih sering berakhir dengan pengumuman seremonial ketimbang dengan solusi konkret. Ia sibuk mengurus branding, lupa bahwa yang dibutuhkan adalah building.
Pujian adalah oksigennya. Kritik adalah racun yang harus dinetralisir, bukan masukan yang harus direnungkan. Ia mengelilingi diri dengan penyanjung yang akan selalu membenarkan setiap tindakannya, menciptakan ruang gema (echo chamber) di mana hanya suara yang memuji yang boleh bergema. Segala bentuk perlawanan atau ketidaksetujuan dilihat sebagai ancaman terhadap otoritasnya, yang harus dilawan dengan kampanye pencitraan yang lebih masif.
Ciri utamanya adalah ketakutan akan ketidakrelevanan. Ia takut dilupakan, takut tidak diakui, takut tidak disebut sebagai “yang terhebat”. Oleh karena itu, energinya habis untuk menjaga agar namanya selalu terngiang, wajahnya selalu terpampang, dan jasanya—yang seringkali dibesar-besarkan—selalu diingat.
Pada akhirnya, pemimpin seperti ini meninggalkan warisan yang kosong. Ia mungkin akan dikenang sebagai pemimpin yang terlihat sibuk, bukan sebagai pemimpin yang bekerja. Ia membangun monumen untuk namanya sendiri, tetapi gagal membangun jalan untuk warganya. Ia pandai memainkan orkestra pujian, tetapi tuli terhadap symphony derita rakyat yang dipimpinnya.
Kekuasaan sejati lahir dari kepercayaan, yang diperoleh melalui kerja nyata dan integritas. Bagi pemimpin yang haus validasi, kekuasaan hanyalah topeng yang menutupi kekosongan di dalam dirinya—sebuah topeng yang suatu saat akan copot, meninggalkan wajah yang tak lagi dikenali oleh rakyat yang dahulu memberinya kepercayaan.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































