Kebahagiaan Guru Madrasah yang Masih Tertunda
Menjadi guru di Indonesia seolah tidak pernah lepas dari kisah perjuangan panjang. Dari generasi ke generasi, profesi ini terus disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun di balik sebutan yang tampak mulia itu, masih banyak guru yang harus menelan getir kehidupan. Terutama bagi mereka yang mengabdi di madrasah atau lembaga pendidikan swasta di bawah naungan Kementerian Agama. Sampai hari ini, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi guru honorer di lingkungan Kemenag masih menjadi cita-cita yang jauh dari kata nyata.
Perubahan kepemimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah, belum banyak membawa perubahan berarti. Janji demi janji sudah berkali-kali terdengar: peningkatan tunjangan, pemerataan kesempatan menjadi ASN, hingga peningkatan kualitas pendidikan. Namun pada akhirnya, kenyataan di lapangan tetap sama. Banyak guru madrasah yang harus menjalani hari-hari dengan gaji yang bahkan belum mencapai setengah dari upah minimum daerah. Padahal mereka juga memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik generasi muda, sama seperti guru-guru di bawah naungan Kementerian Pendidikan.
Guru madrasah adalah potret ketulusan yang nyata. Mereka mengajar tidak hanya dengan ilmu, tetapi juga dengan hati dan nilai-nilai keikhlasan. Di ruang kelas sederhana, mereka menanamkan akhlak, moral, dan pengetahuan agama kepada anak-anak yang kelak menjadi bagian dari bangsa ini. Namun, di balik semangat mereka mendidik, ada banyak kisah getir yang jarang terdengar. Masih banyak guru honorer di madrasah yang mengajar dengan honor sangat minim, bahkan ada yang hanya menerima ratusan ribu rupiah setiap bulannya. Jumlah itu tentu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, apalagi untuk menabung atau menikmati waktu bersama keluarga.
Ironisnya, mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi belum juga diangkat menjadi ASN atau PPPK, sementara kesempatan itu sering kali terbatas dan penuh persaingan. Tidak jarang pula guru madrasah harus mencari pekerjaan tambahan. Ada yang membuka warung kecil, berdagang di pasar, atau bekerja serabutan selepas mengajar. Semua itu dilakukan demi menambah penghasilan, bukan karena mereka tidak mencintai profesi, tetapi karena mereka juga manusia biasa yang harus bertahan hidup. Guru madrasah sering kali berada di posisi yang terpinggirkan. Meskipun mereka berada di bawah lembaga resmi negara, namun perhatian terhadap kesejahteraan mereka tidak seimbang dengan tanggung jawab yang diemban. Bahkan dalam banyak kasus, bantuan dan tunjangan yang sering terlambat atau tidak merata dijanjikan.
Jika berbicara tentang kesejahteraan guru di bawah Kementerian Agama, kenyataannya sangat timpang. Di satu sisi, ada sebagian guru PNS atau ASN yang sudah menikmati gaji dan tunjangan tetap. Namun di sisi lain, ribuan guru honorer dan swasta di madrasah masih hidup dalam ketakutan. Setiap pergantian menteri atau kebijakan baru sering membawa secercah harapan. Namun harapan itu muncul padam sebelum sempat menyala terang. Mekanisme seleksi, administrasi yang rumit, hingga batasan anggaran menjadi alasan klasik yang terus diulang. Sementara itu, waktu terus berjalan, dan kesejahteraan guru madrasah tetap tertinggal jauh di belakang.
Guru kehormatan di madrasah seolah berada di antara dua dunia: tidak sepenuhnya menjadi bagian dari pegawai negeri, namun juga tidak mendapatkan perlindungan penuh sebagai tenaga profesional. Mereka menjalankan kewajiban penuh, mengajar dengan tanggung jawab besar, tetapi hak-haknya tidak selalu diakui secara layak. Padahal, tanpa peran mereka, pendidikan agama di Indonesia tidak akan berjalan seimbang. Madrasah menjadi salah satu benteng moral bangsa, tempat anak-anak belajar bukan hanya membaca dan menulis, tetapi juga memahami nilai-nilai kehidupan dan keimanan. Namun, ironisnya, benteng moral itu dijaga oleh orang-orang yang masih berjuang untuk hidup layak.
Sering kali, kebahagiaan guru madrasah diukur dari hal-hal yang sederhana: ketika muridnya sukses, ketika mereka berpisah dengan hormat di jalan, atau ketika ilmu yang ditanamkan membuahkan kebaikan. Namun sejatinya, kebahagiaan itu tidak bisa hanya diukur dari kepuasan batin. Guru juga berhak merasakan bahagia secara lahiriah seperti mendapatkan penghargaan, upah yang cukup, dan kehidupan yang layak. Guru bukan malaikat yang hidup tanpa kebutuhan, dan bukan pula robot yang bisa bekerja tanpa lelah. Mereka juga punya keluarga, punya anak yang harus sekolah, dan punya kebutuhan dasar seperti semua manusia lainnya.
Ketika kesejahteraan diabaikan, semangat yang dulu menyala bisa perlahan redup. Kebahagiaan guru madrasah seharusnya tidak hanya datang dari ucapan terima kasih atau diberikan simbolis pada Hari Guru. Ia harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan nyata: gaji yang sesuai, jaminan kesehatan, dan kepastian status pekerjaan. Karena kesejahteraan bukan hadiah, melainkan hak yang seharusnya diberikan kepada mereka yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran demi mencerdaskan generasi bangsa.
Ada kalimat yang sering diucapkan para guru madrasah, “Kami bekerja bukan untuk kaya, tapi untuk bermanfaat.” Kalimat itu terdengar indah, tapi di baliknya tersimpan luka yang dalam. Karena seolah-olah pengabdian guru tidak pantas dihargai dengan kesejahteraan yang layak. Setiap tetes keringat mereka, setiap langkah sekolah, dan setiap jam mengajar di ruang kelas sering kali hanya menjadi simbol pengabdian tanpa keseimbangan yang setimpal.
Padahal, keringat itu adalah bagian dari perjuangan hidup yang nyata. Jangan sampai keringat guru madrasah hanya menjadi pidato dalam pidato pejabat, sementara kehidupan mereka tetap sulit di luar sana. Negara seharusnya hadir dengan kebijakan yang adil. Tidak boleh ada perbedaan yang mencolok antara guru di bawah Kementerian Pendidikan dengan guru di bawah Kementerian Agama. Sebab pada hakikatnya, mereka sama-sama pengabdi bangsa yang menjalankan Amanah Mulia.
Sudah terlalu lama guru madrasah menunggu. Menunggu kabar baik tentang peningkatan kesejahteraan yang sering datang hanya sebatas wacana. Mereka tidak meminta kekayaan, hanya meminta keadilan. Tidak menuntut kemewahan, hanya menambakan kepastian. Negeri ini tidak akan maju tanpa mereka. Sebab dibalik setiap anak yang pandai membaca doa dan mengenal moral, ada guru madrasah yang sabar membimbing. Di balik setiap karakter baik yang tumbuh dalam diri generasi muda, ada sentuhan lembut dari guru yang bekerja dalam kelemahan.
Kebahagiaan guru madrasah bukanlah hal yang mustahil, janji negara benar-benar hadir dengan hati, bukan sekedar dengan janji. Sebab ketika guru hidup sejahtera, mereka akan mengajar dengan sepenuh cinta. Dan dari cinta itulah akan lahir generasi yang cerdas, beriman, dan berakhlak mulia. Sudah saatnya kebahagiaan itu tidak lagi tertunda. Karena guru madrasah juga manusia yang berhak merasakan hidup damai, sejahtera, dan bahagia dan bukan hanya sekedar dalam wacana tapi dalam kehidupan nyata.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”










































































