IPI 0 Rupiah Bukan Penghalang untuk Diterima di Kampus Impian
Narasi Keliru di Balik Uang Pangkal
Setiap musim penerimaan mahasiswa baru, pertanyaan yang sama selalu muncul:
“Kalau saya isi uang pangkal 0 Rupiah, apakah peluang saya untuk lolos seleksi mandiri jadi kecil?”
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Banyak calon mahasiswa merasa bahwa perguruan tinggi negeri (PTN) memprioritaskan peserta yang mengisi Iuran Pengembangan Institusi (IPI) dengan nominal besar. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah merasa ragu, bahkan menyerah sejak awal karena merasa tak mampu bersaing secara finansial.
Namun, penting untuk diluruskan bahwa pandangan seperti ini berangkat dari persepsi yang keliru. Logika bahwa “semakin besar uang pangkal, semakin besar peluang diterima” bertentangan dengan prinsip keadilan dan inklusivitas dalam sistem pendidikan tinggi.
IPI Tidak Menentukan Kelulusan
Pemerintah telah mengambil sikap tegas dalam mengatur hal ini. Dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 Pasal 22 ayat (3) disebutkan secara jelas:
“IPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang digunakan untuk penentuan penerimaan atau kelulusan Mahasiswa.”
Ini berarti bahwa secara hukum, kampus tidak boleh menjadikan besaran IPI sebagai acuan diterima atau tidaknya seseorang dalam jalur seleksi mandiri. Aturan ini diterbitkan sebagai bentuk perlindungan terhadap akses yang adil dan merata ke perguruan tinggi negeri, tanpa diskriminasi berdasarkan kemampuan ekonomi.
Dengan demikian, mahasiswa yang mengisi IPI sebesar 0 Rupiah tidak seharusnya merasa kecil hati. Justru itu mencerminkan kejujuran dan transparansi terhadap kondisi keuangan keluarga, yang juga dihargai oleh banyak institusi pendidikan.
Menggugat Narasi Lama: Besar Uang = Besar Peluang?
Masih banyak calon mahasiswa dan orang tua yang beranggapan bahwa memasukkan nominal besar pada formulir IPI akan memperbesar peluang untuk diterima. Hal ini menciptakan tekanan sosial dan psikologis tersendiri bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi terbatas. Tidak sedikit yang akhirnya memaksakan diri menuliskan angka tinggi—bukan karena mampu, tetapi karena takut dianggap tidak layak.
Padahal, sistem seleksi mandiri yang sehat tetap menjadikan prestasi akademik, nilai ujian, dan potensi calon mahasiswa sebagai tolok ukur utama. Mengisi 0 Rupiah bukanlah tanda kelemahan, melainkan cerminan bahwa pendidikan tinggi seharusnya dapat diakses oleh siapa pun yang punya semangat dan kompetensi.
Kita tidak boleh lagi membiarkan narasi keliru ini tumbuh subur. Pendidikan adalah hak, bukan privilege. Semangat dan kecerdasan tidak bisa dibeli dengan nominal.
Keberanian dan Kejujuran: Nilai Tambah Tak Tertulis
Menulis angka 0 di kolom IPI kadang dianggap memalukan. Tapi faktanya, itu bisa menjadi bentuk keberanian dan integritas. Di tengah tekanan sosial dan stigma soal kemampuan ekonomi, mengakui keterbatasan adalah tindakan berani. Ini adalah bentuk kejujuran yang tidak semua orang miliki.
Tidak sedikit mahasiswa hebat lahir dari latar belakang yang sederhana. Mereka berjuang bukan karena punya segalanya, tetapi karena punya keinginan besar untuk belajar dan memperbaiki hidup. Banyak kampus yang secara aktif mendorong inklusivitas dan memberi kesempatan kepada mereka yang memang memiliki potensi akademik, sekalipun tanpa dukungan dana besar.
Masa Depan Tidak Ditentukan oleh Angka di Formulir
Saat kamu mengisi formulir seleksi mandiri, ingat bahwa angka yang kamu tulis di kolom IPI tidak menentukan siapa dirimu. Apa yang akan menentukan masa depanmu adalah kemampuan, etos belajar, dan kemauan untuk berkembang. Dunia kerja nanti pun tak pernah menanyakan berapa besar uang pangkalmu dulu saat masuk kuliah. Yang mereka lihat adalah kompetensi dan kontribusimu.
Tidak perlu takut memilih IPI 0 Rupiah. Jika itu mencerminkan realitas ekonomimu, maka tuliskan dengan yakin. Banyak kampus memahami dan sudah menyiapkan skema subsidi silang serta beasiswa agar semua kalangan bisa mengakses pendidikan.
Penutup: Jangan Mundur dari Mimpi Hanya Karena Takut
Pendidikan tinggi adalah bagian dari hak konstitusional warga negara Indonesia. Maka, setiap anak bangsa—terlepas dari latar belakang ekonomi—berhak mendapat kesempatan yang sama. Ketika kamu memilih untuk jujur dan tetap semangat dalam keterbatasan, itu adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang sering kali bias pada kapital.
Jangan mundur hanya karena takut dianggap tidak mampu. Kamu tidak sedang bersaing soal uang, tetapi bersaing soal kualitas diri dan potensi. Dan potensi itu, tidak bisa dinilai dengan rupiah.