Pendahuluan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 telah selesai digelar dan menghasilkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang. Kemenangan ini menandai akan terjadinya transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo kepada presiden terpilih, sebuah momen yang krusial dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Di tengah dinamika politik yang masih memanas, transisi kekuasaan menjadi ujian penting bagi sistem hukum tata negara kita: apakah kita benar-benar menjunjung tinggi prinsip negara hukum, demokrasi, dan supremasi konstitusi?
Transisi kekuasaan bukan sekadar proses administratif. Ia adalah bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat yang harus dijalankan berdasarkan konstitusi. Artikel ini mencoba mengulas proses transisi kekuasaan dalam konteks hukum tata negara Indonesia, serta menyoroti tantangan dan harapan yang menyertainya.
Transisi Kekuasaan dalam Perspektif Hukum Tata Negara
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, pemilu merupakan wujud utama dari kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2 dan 3 UUD 1945). Proses transisi kekuasaan dilakukan setelah KPU menetapkan hasil pemilu dan Mahkamah Konstitusi menyelesaikan seluruh sengketa hasil pemilu, jika ada. Presiden dan Wakil Presiden terpilih lalu dilantik oleh MPR dalam sidang paripurna.
Secara teori, sistem ketatanegaraan Indonesia telah menyediakan mekanisme hukum yang lengkap untuk menjamin transisi kekuasaan berjalan secara sah, tertib, dan damai. Hal ini mencerminkan prinsip negara hukum (rechtstaat) yang menempatkan hukum sebagai dasar segala tindakan, termasuk dalam suksesi kekuasaan.
Pilpres 2024: Dinamika Politik dan Tantangan Legitimasi
Meski dari sisi prosedural Pilpres 2024 berjalan sesuai aturan, berbagai dinamika politik yang mengiringi tetap menimbulkan pertanyaan serius dari perspektif hukum tata negara. Salah satu yang paling banyak disorot adalah putusan Mahkamah Konstitusi pada akhir 2023 yang mengubah syarat usia calon wakil presiden, sehingga membuka jalan bagi Gibran, putra Presiden Jokowi untuk maju.
Isu ini menimbulkan kekhawatiran soal etika konstitusi dan independensi lembaga yudikatif. Sebagian kalangan mempertanyakan apakah proses politik yang berlangsung tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan netralitas. Kekhawatiran ini bukan sekadar politis, tetapi berkaitan langsung dengan prinsip dasar negara hukum, yakni keabsahan hukum bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal keadilan substantif.
Jika transisi kekuasaan dilakukan tanpa kepercayaan publik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya stabilitas politik, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
Analisis Hukum Tata Negara terhadap Transisi Kekuasaan 2024
Dari sudut pandang hukum tata negara, ada beberapa poin penting yang patut dicermati dalam transisi kekuasaan 2024:
1. Asas Legalitas Terpenuhi, namun perlu evaluasi terhadap ruang interpretasi konstitusi yang terlalu longgar oleh lembaga yudikatif.
2. Peran MPR dan Presiden Aktif dalam menjamin kelancaran pelantikan harus diawasi agar tidak terjadi konflik kepentingan.
3. Transparansi dan Akuntabilitas lembaga negara harus diperkuat agar tidak muncul persepsi publik bahwa konstitusi hanya menjadi alat kekuasaan.
Transisi kekuasaan harus berjalan dalam kerangka konstitusionalisme, bukan sekadar proseduralisme. Artinya, setiap langkah dalam suksesi harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan keterbukaan.
Kesimpulan dan Harapan
Transisi kekuasaan pasca Pilpres 2024 merupakan momen penting untuk menguji kekokohan sistem hukum tata negara Indonesia. Meski secara formal transisi tersebut mengikuti mekanisme konstitusional, dinamika politik yang menyertainya menunjukkan bahwa konstitusi bisa saja dilanggar secara nilai meski tidak secara teks.
Oleh karena itu, penting bagi semua elemen bangsa, khususnya lembaga negara untuk menunjukkan komitmen terhadap prinsip negara hukum dan supremasi konstitusi. Pemerintahan baru perlu memulai langkahnya dengan menjunjung etika konstitusi dan membangun kepercayaan rakyat melalui kebijakan yang adil, transparan, dan konstitusional.