Papua Kaya, Tapi Luka: Antara Tambang, Alam, dan Harapan Warga
Apa jadinya jika tanah kehidupan yang selama ini kita banggakan sebagai warisan dunia, perlahan-lahan dikikis untuk mengisi baterai kendaraan listrik? Di satu sisi, kita bicara soal masa depan ramah lingkungan. Di sisi lain, kita membiarkan hutan Papua ditebang dan terumbu karang dihancurkan demi nikel, logam yang kini menjadi rebutan di dunia industri.
Namun, Papua bukan hanya kaya mineral, tapi juga kaya kehidupan. Di dalam hutan dan lautnya, hidup ribuan spesies langka yang patut dilestarikan keberadaannya. Tapi kekayaan ini kini terancam oleh adanya pertambangan yang tak memikirkan dampak kedepannya. Memang tak bisa dipungkiri, kehadiran pertambangan di beberapa wilayah Papua telah membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar yang sebelumnya hidup dalam keterbatasan. Namun bagi sebagian warga, tambang membawa harapan dan kesempatan.
Kita patut bertanya demi mengejar ambisi ekonomi, apakah kita benar-benar rela menukar kekayaan alam yang tak tergantikan dengan logam yang bisa habis dalam hitungan dekade?
Tambang Membawa Harapan
Tidak bisa dipungkiri, pertambangan nikel di Papua telah membawa manfaat ekonomi bagi sebagian warga. Di Pulau Kawe, perusahaan PT Kawei Sejahtera Mining sempat beroperasi sejak 2004 dan memberikan lapangan pekerjaan, fasilitas kesehatan, serta pelatihan bagi masyarakat Kampung Selpele. Kehadiran tambang menjadi simbol perubahan, terutama bagi warga yang selama ini hidup dalam keterbatasan.
Namun ketika pemerintah mencabut izin usaha tambang pada 10 Juni 2025, muncul konflik horizontal. Warga Kampung Selpele memblokir akses wisata Pulau Wayag sebagai bentuk protes, sementara warga Kampung Salio yang menggantungkan hidup dari pariwisata mengalami kerugian karena adanya penutupan akses ke tempat tersebut. Dua kampung yang berasal dari satu rumpun suku Kawe kini terpecah karena perbedaan kepentingan.
Ancaman Ekologis yang Nyata
Di sisi lain, kerusakan lingkungan akibat tambang tak kalah mengkhawatirkan. Greenpeace Indonesia mencatat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami dibabat di Pulau Kawe, Gag, dan Manuran yang semuanya merupakan bagian dari Raja Ampat. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 melarang aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil.
Menurut Greenpeace, aktivitas tambang tidak hanya merusak daratan dan habitat satwa langka seperti cenderawasih botak, tetapi juga mengancam ekosistem laut akibat lalu lalangnya kapal tongkang di kawasan perairan terumbu karang. Raja Ampat sendiri menyimpan kekayaan luar biasa. Terdapat sekitar 1.400 jenis ikan, 700 moluska, dan menyumbang Rp7 miliar atau 15 persen dari Pendapatan Asli Daerah Raja Ampat pada 2020 melalui sektor ekowisata.
Solusi Bukan Sekadar Pencabutan Izin
Keputusan Presiden mencabut izin usaha pertambangan di Raja Ampat merupakan langkah penting. Namun tanpa strategi pemulihan yang menyeluruh, keputusan ini justru berisiko menimbulkan ketegangan baru. Masyarakat yang kehilangan pekerjaan tidak serta-merta dapat langsung beralih ke sektor lain.
Karena itu, solusi tidak cukup berhenti pada pencabutan izin. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin tambang di Papua dengan mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial. Selain itu, perlu dikembangkan alternatif ekonomi berbasis konservasi seperti ekowisata dan industri kreatif lokal. Dan yang terpenting, masyarakat harus dilibatkan secara aktif sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima dampak.
Apa yang Ingin Kita Wariskan?
Papua tidak harus memilih antara alam dan ekonomi. Kita bisa menyeimbangkan keduanya, asalkan ada komitmen yang kuat, tata kelola yang transparan, dan kebijakan yang berpihak pada masa depan. Karena pada akhirnya, yang memberi nilai pada kehidupan kita bukan seberapa banyak yang kita gali dari bumi, tapi seberapa bijak kita menjaga yang tak bisa digantikan. Sudahkah kita memilih jalan yang akan diwarisi dengan bangga oleh anak cucu kita kelak?
Oleh: Agillia Dian Anastasia