Apa cita-cita Anda waktu kecil? Guru, dokter, polisi, tentara, atau malah… masuk surga? Ya, ada saja anak kecil yang jawabannya seperti itu. Jujur, polos, dan penuh ketulusan. Tapi pendidikan Indonesia jarang memberi ruang bagi anak-anak untuk mengenal pilihan masa depan mereka sejak dini.
Cita-cita masa kecil seringkali lahir dari dorongan ingin menolong orang banyak, ingin membuat orang tua bangga, atau sekadar karena kagum pada seragam dan kisah heroik di buku pelajaran. Tapi mari jujur, berapa banyak dari kita yang sekarang benar-benar bekerja sesuai cita-cita masa kecil itu?
Jika iya, Anda beruntung. Tapi jika tidak, seberapa keras Anda harus berjuang menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan realitas zaman? Pernahkah sewaktu sekolah dulu Anda membayangkan ingin menjadi Social Media Specialist, Content Creator, atau UX Designer? Hampir pasti tidak, kecuali Anda tumbuh dalam keluarga yang melek teknologi dan berwawasan luas.
Masalahnya, kita dibesarkan oleh sistem pendidikan yang terlalu lama berkutat di masa lalu—secara harfiah. Kita diajak mengingat detail sejarah perang, tokoh nasional, hingga tanggal-tanggal penting kemerdekaan. Tapi sangat jarang diajak membayangkan seperti apa masa depan akan berubah, dan bagaimana seharusnya kita generasi penerus bangsa menghadapinya.
Setiap pergantian menteri, kurikulum baru muncul. Tapi esensinya masih sama: siswa diukur dari nilai, bukan dari potensi. Sekolah jadi ajang formalitas. Belajar demi ujian. Lulus demi ijazah. Ijazah demi pekerjaan, pekerjaan apapun asal bisa hidup. Kita lupa, bahwa sekolah seharusnya menjadi tempat untuk mengenali diri, bukan hanya menghafal materi.
Kenapa tidak ada pelajaran yang membahas realita pekerjaan zaman sekarang dan masa depan? Kenapa tidak ada kelas yang mengajarkan critical thinking untuk dunia digital, mengenalkan berbagai jenis pekerjaan modern, atau bahkan skill dasar seperti membuat CV, mengelola waktu, dan membangun personal branding? Kita belajar sejarah ratusan tahun lalu, tapi tak tahu tren lima tahun ke depan.
Padahal, beberapa negara sudah menerapkan pendekatan ini. Finlandia, misalnya, fokus pada pengembangan life skills dan pemetaan minat siswa sejak dini. Di Singapura, siswa diperkenalkan pada tren industri dan teknologi mutakhir bahkan sejak jenjang dasar, melalui pelajaran berbasis future-ready education yang dipadukan dengan teknologi.
Di Indonesia, SMA dan SMK memang jadi pembeda, tapi sayangnya pembedaan ini datang terlalu telat. Ketika siswa SMA masih bingung jurusan kuliah, siswa SMK pun kadang merasa tidak cocok dengan jurusan yang sudah terlanjur mereka pilih. Seharusnya, proses mengenali diri dan memahami dunia kerja dimulai jauh sebelum mereka menginjak bangku SMA.
Sekolah tidak boleh hanya menjadi tempat untuk mengejar nilai. Ia harus menjadi tempat bertumbuh, mengenal dunia, dan mengenal diri. Kita butuh kurikulum yang tidak hanya menyentuh masa lalu, tapi juga menyiapkan masa depan yang mencakup pengenalan pekerjaan modern dan peluang karier masa depan, kelas eksplorasi minat dan bakat sejak dini, pelatihan skill digital, public speaking, dan kolaborasi, pembelajaran yang adaptif terhadap perkembangan globalisasi
Kalau kita bisa mempelajari sejarah kemerdekaan, kenapa kita tidak bisa belajar bagaimana memerdekakan masa depan kita sendiri? Sudah saatnya sekolah berhenti jadi mesin penghafal. Dan mulai menjadi ruang penemuan jati diri.
Karena masa depan tidak cukup hanya direncanakan dari mimpi masa kecil, ia harus disiapkan sejak hari ini.
Oleh: Putri Lestari