Generasi Z atau Gen Z merujuk pada kelompok usia yang lahir antara tahun 1995 hingga 2010. Mereka tumbuh dalam era digital, di tengah krisis iklim, pandemi, tekanan ekonomi global, dan disrupsi sistem pendidikan maupun ketenagakerjaan. Saat ini, usia Gen Z berada di rentang 15 hingga 30 tahun. Dalam usia produktif tersebut, banyak dari mereka belum mampu mandiri secara finansial.
Hal ini pernah menjadi sorotan usai Menteri BUMN Erick Thohir menyampaikan bahwa Gen Z Indonesia masih sangat bergantung pada orang tua, berbeda dengan Gen Z di luar negeri yang dinilai sudah bisa membeli rumah dan menjadi pengusaha muda.
Pernyataan tersebut disampaikan Erick dalam peluncuran TikTok-PosAja! Creator House di kawasan Kota Tua, Jakarta, pada 10 Juli 2024.
“Di luar negeri, anak muda yang seusia Gen Z sudah mampu memiliki rumah sendiri, sudah jadi entrepreneur. Tapi di Indonesia, Gen Z kita masih banyak yang bergantung pada orang tua” imbuhnya, dilansir dari Liputan6.
Namun, apakah ketergantungan ini benar mencerminkan kemanjaan atau kurangnya kemandirian? Sanggahan atas pernyataan tersebut datang dari warganet dan pengamat sosial, salah satunya dari akun X (Twitter) @ardisatriawan yang menulis bahwa wajar jika Gen Z Indonesia masih bergantung pada orang tua, mengingat kondisi struktural yang mereka hadapi sejak kecil hingga memasuki dunia kerja.

Ia menyebut bahwa biaya pendidikan berkualitas sangat mahal, sekolah negeri terbatasi zonasi dengan kualitas yang tidak merata, UKT kuliah terus naik, dan selama kuliah mahasiswa dituntut magang demi mengejar pengalaman. Setelah lulus, banyak lowongan kerja mensyaratkan usia maksimal 25 tahun, sementara gaji yang ditawarkan berkisar pada upah minimum regional (UMR). Di sisi lain, harga rumah di kota-kota besar tidak masuk akal untuk dibeli dengan gaji setara UMR.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata upah pekerja usia 20–24 tahun hanya sekitar Rp3,2 juta per bulan, sedangkan harga rumah sederhana di wilayah Jabodetabek sudah mencapai lebih dari Rp500 juta. Dengan skema cicilan rumah konvensional, dibutuhkan pendapatan minimal dua kali lipat UMR untuk sekadar lolos pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR). Laporan dari OECD pada tahun 2023 juga mencatat bahwa 45% Gen Z di negara berkembang termasuk Indonesia berada dalam kondisi pekerjaan tidak tetap, dengan tingkat kerentanan finansial yang tinggi.
Dalam dunia kerja, Gen Z sering kali dicap cepat mengeluh atau terlalu menuntut work-life balance. Namun riset dari World Economic Forum (2023) justru menunjukkan bahwa generasi ini memiliki kesadaran tinggi terhadap isu kesehatan mental, burnout, dan budaya kerja yang tidak sehat. Bukan tidak ingin bekerja keras, namun mereka lebih sadar akan batas dan hak mereka di dunia kerja modern.
Membandingkan Gen Z Indonesia dengan Gen Z di negara maju pun perlu konteks yang adil. Banyak negara seperti Kanada, Jerman, atau Jepang memiliki subsidi pendidikan tinggi, skema kredit perumahan yang terjangkau, serta jaminan sosial yang komprehensif bagi anak muda. Sementara itu, Gen Z Indonesia berhadapan dengan realita infrastruktur sosial yang belum berpihak.
Alih-alih menghakimi Gen Z sebagai generasi yang tidak mandiri, pemerintah dan pembuat kebijakan semestinya melihat masalah ini sebagai sinyal penting untuk mengevaluasi sistem. Ketimpangan ekonomi, mahalnya biaya hidup, serta ketatnya persaingan kerja adalah realita yang membuat banyak Gen Z masih tinggal bersama orang tua. Bukan karena tidak mau mandiri, tapi karena sistem belum cukup aman untuk menopang mereka berdiri sendiri.