Pernikahan bukanlah bentuk penyelesaian yang adil bagi korban kekerasan seksual. Justru, praktik ini memperpanjang penderitaan korban dan memperkuat impunitas pelaku. Dalam masyarakat yang masih menganggap “aib” lebih penting daripada keadilan, banyak korban yang akhirnya dikorbankan kembali melalui paksaan untuk menikahi pelaku. Ini bukan hanya keliru secara moral, tetapi juga bertentangan dengan hukum.
Kasus terbaru menimpa seorang mahasiswi berinisial NA (19), asal Kecamatan Tempuran, Karawang, yang menjadi korban kekerasan seksual oleh pamannya sendiri, AS (41), yang juga seorang guru ngaji. Alih-alih mendapatkan perlindungan hukum setelah melapor ke Polsek Majalaya pada 9 April 2025, NA justru dipaksa menyelesaikan kasusnya lewat mediasi damai. Lebih tragis lagi, ia dipaksa menikah secara siri dengan pelaku, hanya untuk kemudian diceraikan satu hari setelahnya. Di mata hukum dan moral, ini adalah bentuk reviktimisasi.
Peristiwa yang menimpa NA bukanlah kasus tunggal. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2024, kasus kekerasan seksual mencakup 26,94% dari total kekerasan terhadap perempuan. Ironisnya, banyak kasus diselesaikan dengan pendekatan ‘damai’ yang merugikan korban. Pernikahan antara korban dan pelaku, yang kerap dianggap solusi, justru memperparah kondisi psikologis, sosial, bahkan ekonomi korban. Menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, pernikahan semacam ini menjebak korban dalam lingkaran kekerasan seumur hidup, dan bisa saja mengalami multiple forms of violence yaitu kekerasan psikologis, kekerasan seksual, dan sangat memungkinkan mendapat serangan verbal, fisik, dan ekonomi. Menikahkan pelaku kekerasan seksual dengan korban membuat kerasan itu tetap berlanjut dan dilegalkan dalam status pernikahan.
Lebih dari itu, penyelesaian dengan cara ini melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana. Dalam praktiknya, mediasi semacam ini hanya memperkuat budaya impunitas. Pelaku merasa dapat “menebus kesalahan” dengan menikahi korban, bukan dengan menerima hukuman yang setimpal. Akibatnya, korban tidak mendapat keadilan, sementara pelaku bebas dari jerat hukum. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat hukum, khususnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang secara jelas melindungi hak-hak korban dan menjamin proses pemulihan yang menyeluruh.
Lebih parah lagi, penyelesaian semacam ini membuat korban enggan melapor. Mereka takut dipaksa “damai” dan berujung dinikahkan dengan pelaku. Ketika hukum gagal memberi rasa aman, keheningan menjadi pilihan rasional. Dan inilah akar dari terus meningkatnya angka kekerasan seksual: negara tidak hadir secara tegas, dan masyarakat masih berpihak pada pelaku atas nama “aib keluarga” atau “nama baik desa”.
Sudah saatnya negara dan masyarakat berhenti menormalisasi pernikahan sebagai solusi dari kekerasan seksual. Pemaksaan pernikahan harus dipahami sebagai bentuk kekerasan tambahan, bukan penyelesaian. Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2024 telah mengatur pentingnya perlindungan, penanganan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Peraturan ini perlu ditegakkan secara nyata, bukan hanya jadi dokumen formal.
Pendidikan publik tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak harus digencarkan. Penegak hukum juga wajib diberi pelatihan dan pengawasan agar tidak menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan jalur damai dan mediasi yang merugikan korban. Yang lebih penting: masyarakat perlu disadarkan bahwa pernikahan tidak menyembuhkan trauma, tidak menebus kesalahan pelaku, dan tidak pernah menjadi bentuk keadilan.
Korban kekerasan seksual membutuhkan perlindungan, pemulihan, dan keadilan—bukan ikatan paksa dengan pelaku yang telah menghancurkan hidup mereka.