Di banyak percakapan sehari-hari, kita sering mendengar keluhan seperti, “Udah, jangan ngomong sama perokok, mereka tuh keras kepala,” atau “Debat sama perokok nggak guna, nggak akan masuk di otak mereka.” Mungkin kita sendiri pernah berada dalam situasi serupa, mencoba menegur teman atau anggota keluarga yang merokok di tempat yang tidak seharusnya, tetapi justru berakhir dengan perdebatan panjang dan membuat suasana menjadi tegang.
Stereotip semacam ini bukan muncul tanpa sebab. Banyak orang memperhatikan bahwa teman atau kerabatnya yang merokok cenderung lebih sensitif, sulit diajak kompromi, atau mudah tersinggung, terutama ketika mereka belum merokok dalam beberapa jam. Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena tersebut? Apakah perilaku emosional itu merupakan karakter bawaan perokok, atau ada hal lain yang memengaruhi proses otak dalam mengontrol emosi?
Dalam biopsikologi, penjelasan atas perilaku tersebut tidak sesederhana “karena dia perokok.” Di balik kebiasaan merokok tersebut, ada proses di dalam otak yang berubah akibat nikotin, zat utama yang terkandung dalam rokok. Perubahan inilah yang kemudian membentuk stereotipe tentang sikap “keras kepala” perokok.
Bagi sebagian orang, rokok sering dianggap sebagai “penenang instan” ketika emosi sedang tidak stabil. Setelah satu atau dua tarikan, nikotin memicu pelepasan dopamin dan neurotransmitter lainnya yang menimbulkan sensasi nyaman, sehingga perokok merasa lebih tenang atau dapat kembali berkonsentrasi. Namun, di balik sensasi tersebut, otak sedang mengalami serangkaian perubahan neurobiologis, dari perubahan cara kerja prefrontal cortex hingga amigdala yang jika berlangsung dalam jangka panjang, justru dapat mengurangi kemampuan seseorang dalam melakukan pengendalian emosi dan regulasi stres.
Ketika seseorang merokok, nikotin, zat aktif utama dalam rokok, bergerak sangat cepat menuju otak. Di sana, nikotin menempel pada reseptor asetilkolin dan memicu pelepasan dopamin, yaitu neurotransmitter yang berperan dalam rasa senang dan sistem reward. Lonjakan dopamin inilah yang memberikan sensasi tenang dan nyaman setelah merokok. Namun, efek tersebut berlangsung sangat singkat. Ketika kadar nikotin mulai menurun, otak justru memasuki fase gelisah dan menimbulkan ketidaknyamanan. Perubahan drastis antara kondisi nyaman dan gelisah ini berdampak pada naik-turunnya pola emosional yang mendorong perokok untuk terus mencari rokok berikutnya.
Paparan nikotin yang terus menerus, menyebabkan perubahan besar yang terjadi pada prefrontal cortex (PFC) yaitu bagian otak yang bertugas membantu kita mengendalikan emosi, menahan impuls, membuat keputusan yang bijak, hingga mempertimbangkan dampak perilaku kita pada orang lain. Ketika seseorang terpapar nikotin dalam jangka panjang, fungsi PFC menjadi tidak optimal. Akibatnya, ia akan kesulitan melakukan hal-hal yang berhubungan dengan fungsi bagian otak tersebut seperti regulasi emosi, merespons sesuatu dengan tenang, dan berpikir jernih di bawah tekanan.
Selain itu, nikotin juga memengaruhi amigdala, yaitu struktur otak yang berperan dalam memproses rasa takut, marah, dan stres. Pada tahap awal, nikotin dapat menekan aktivitas amigdala sehingga memberikan perasaan tenang. Namun, penggunaan yang dilakukan berulang-ulang, membuat amigdala justru berubah menjadi lebih sensitif dan reaktif. Kondisi inilah yang membuat perokok lebih mudah tersinggung atau lebih cepat marah terutama ketika kadar nikotin dalam tubuh mulai menurun.
Pada akhirnya, memahami bagaimana nikotin mengacaukan sistem pengendalian emosi bukan berarti kita membenarkan perilaku defensif dan keras kepala pada perokok. Justru sebaliknya, pengetahuan ini membantu kita melihat bahwa banyak perokok sebenarnya terjebak dalam perangkap nikotin yang memengaruhi perilaku mereka.
Sangat disayangkan bahwa di Indonesia, banyak anak-anak yang telah terpapar rokok sejak dini. Sebagian dari mereka memulai merokok secara aktif, karena menganggap kebiasaan merokok sebagai hal yang wajar dan bahkan “keren,” sedangkan sebagian lainnya menjadi perokok pasif, terpapar asap rokok dari anggota keluarga atau lingkungan terdekat. Kedua kelompok tersebut tetap menghadapi risiko kesehatan yang signifikan. Paparan rokok, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat berdampak jangka panjang, termasuk mengganggu perkembangan otak serta kemampuan dalam mengendalikan emosi.
Bagi teman-teman yang merokok, penting untuk mengingat bahwa tubuh dan pikiran kalian sebenarnya sedang bekerja keras mengikuti perubahan-perubahan yang datang setiap kali nikotin masuk dan hilang dari sistem. Padahal, di balik semua itu, kalian berhak merasakan ketenangan yang tidak bergantung pada apa pun, ketenangan yang hadir karena tubuh benar-benar bisa beristirahat.
Memilih untuk tidak merokok berarti memberi ruang bagi diri sendiri, ruang untuk bernapas lebih lega, dan kembali terhubung dengan tubuh kita apa adanya. Saat kita memilih untuk menyayangi diri sendiri dengan cara ini, kita sebenarnya sedang memberi hadiah kecil yang akan sangat berarti untuk diri kita di masa depan. Perlahan-lahan, ketika ruang untuk mencintai diri sendiri itu mulai tumbuh, kita punya kapasitas yang lebih besar untuk mencintai dan memahami orang lain. Kita juga bisa lebih peduli lagi pada lingkungan, pada udara yang kita hirup, ruang yang kita bagi, dan orang-orang yang kita temui setiap hari.
Dan satu hal yang perlu diingat, merokok itu bukan hal yang keren. Merokok tidak membuat seseorang terlihat lebih kuat atau lebih dewasa, hal yang benar-benar keren adalah ketika seseorang mampu berkata “tidak” pada sesuatu yang bisa menyakitinya dan berusaha untuk merawat dirinya agar bisa hidup lebih lama bersama orang-orang terdekatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hammad, A. M., Alhusban, A. A., Alzaghari, L. F., Alasmari, F., & Sari, Y. (2023). Effect of cigarette smoke exposure and aspirin treatment on neurotransmitters’ tissue content in rats’ hippocampus and amygdala. Metabolites, 13(4), 515.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024, 2 Agustus). Tekan konsumsi perokok anak dan remaja.
Liem, A. (2016). Pengaruh nikotin terhadap aktivitas dan fungsi otak serta hubungannya dengan gangguan psikologis pada pecandu rokok. Buletin Psikologi.
Syarat dan Ketentuan Penulisan di Siaran-Berita.com :
Setiap penulis setuju untuk bertanggung jawab atas berita, artikel, opini atau tulisan apa pun yang mereka publikasikan di siaran-berita.com dan klaim apa pun yang timbul dari publikasi tersebut, termasuk, namun tidak terbatas pada, klaim pencemaran nama baik, pelanggaran privasi, pelanggaran hak cipta, merek dagang, nama dagang atau pelanggaran paten, berita palsu, atau klaim lain apa pun yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum atau kontrak, atau berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia
Selain itu, setiap penulis setuju, untuk membebaskan siaran-berita.com dari semua klaim (baik yang sah maupun tidak sah), tuntutan hukum, putusan, kewajiban, ganti rugi, kerugian, biaya, dan pengeluaran apa pun (termasuk penilaian biaya pengacara yang wajar) yang timbul dari atau disebabkan oleh publikasi berita apa pun yang dipublikasikan oleh penulis.”
