Ganti Menteri, Ganti Kurikulum: Inovasi atau Ajang Coba-Coba?
Pendidikan merupakan dasar bagi masa depan suatu bangsa. Namun, di Indonesia, sistem pendidikan kita tampak terjebak dalam siklus yang tiada henti: pergantian menteri, pergantian kurikulum. Setiap kali posisi Menteri Pendidikan berganti, publik hampir bisa memprediksi satu hal yaitu, kurikulum akan berubah. Seolah menjadi sebuah tradisi yang tidak tertulis, perubahan pemimpin di Kementerian Pendidikan hampir selalu disertai dengan perubahan dalam sistem pengajaran, bahkan ketika kurikulum yang ada belum sepenuhnya dievaluasi.
Pertanyaannya, apakah pergeseran ini merupakan langkah inovatif yang berkelanjutan, atau sekadar eksperimen yang merugikan siswa sebagai korbannya? Ketidakpastian kurikulum di Indonesia telah menjadi isu yang mendalam dalam sistem pendidikan. Hal ini tidak hanya mengganggu proses pembelajaran, tetapi juga menciptakan kebingungan bagi guru, siswa, dan orang tua. Ditengah dunia yang semakin rumit dan memerlukan penyesuaian cepat, sistem pendidikan kita justru berjalan tanpa arah yang jelas.
Ketidakkonsistenan Kurikulum = Sejarah yang Berulang
Sejarah pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa setiap pergantian menteri pendidikan sering kali diikuti oleh perubahan kurikulum yang signifikan. Seperti yang dikemukakan dalam jurnal IAIN Lhokseumawe, “Indonesia telah mengalami lebih dari 13 kali perubahan kurikulum” (https://journal.iainlhokseumawe.ac.id/index.php/idarah/article/view/524?utm), dan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir saja, setidaknya empat kurikulum besar telah silih berganti, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka. Ironisnya, perubahan ini kerap terjadi tanpa masa transisi yang memadai.
Ketidakkonsistenan ini menjadi problem struktural yang terus berulang. Menurut pakar pendidikan Sunardi, perubahan kurikulum idealnya dilakukan setiap 10–15 tahun melalui proses evaluasi dan pengujian mendalam, bukan berdasarkan selera kepemimpinan. Namun sayangnya, sistem pendidikan kita justru cenderung responsif terhadap kebijakan politis sesaat dibandingkan berpijak pada kebutuhan riil pendidikan jangka panjang.
Bagaimana kita bisa mengharapkan hasil yang positif jika para pendidik tidak diberikan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi? Kurangnya evaluasi dan persiapan sebelum penerapan kurikulum baru merupakan masalah besar. Banyak guru yang tidak mendapatkan pelatihan yang memadai untuk mengajarkan kurikulum baru, sehingga mereka terpaksa berjuang sendiri dalam memahami dan menyampaikan materi yang belum dikuasai. Akibatnya, proses belajar mengajar menjadi tidak efektif, dan siswa pun jadi terjebak dalam ketidakpastian ini.
Bagaimana Nasib Pelajar yang Terombang-ambing?
Sebagai siswa dan generasi muda yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Indonesia, saya menyaksikan bahwa perubahan kurikulum yang terlalu sering malah merugikan kami. Alih-alih menciptakan inovasi, keadaan ini membuat kami kesulitan untuk fokus dalam menguasai kompetensi dasar karena materi dan metode terus berubah. Pembelajaran menjadi tidak terarah, dan sering kali guru pun bingung menentukan pendekatan yang paling efektif. Ketika guru merasa ragu, siswa juga kehilangan arah. Ini memicu stres, kecemasan, bahkan menurunnya semangat belajar. Sekolah pun mengalami kesulitan dalam merancang program pembelajaran jangka panjang. Padahal, pendidikan seharusnya menciptakan suasana yang stabil dan mendukung bagi perkembangan siswa.
Belajar dari Negara Maju: Stabilitas adalah Kunci
Jika dibandingkan dengan negara seperti Australia atau Singapura, yang kurikulumnya tidak mengalami perubahan drastis setiap kali ada pergantian kepemimpinan. Di Australia, mereka memiliki sistem pendidikan yang stabil dan berkelanjutan. Perubahan kurikulum di negara-negara tersebut dilakukan dengan rencana yang matang dan melibatkan berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, serta ahli pendidikan. Mereka memberikan masa transisi yang cukup untuk memastikan semua pihak dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada. Singapura juga memiliki pendekatan serupa. Setiap perubahan signifikan dilakukan melalui proyek percontohan dan percobaan yang berlangsung selama bertahun-tahun sebelum diterapkan secara luas di seluruh negeri.
Pemerintahnya menjamin bahwa masa transisi berlangsung cukup lama agar para guru dan siswa dapat beradaptasi secara bertahap. Hasilnya,kestabilan dalam sistem pendidikan ini mendukung peningkatan kualitas lulusan serta daya saing di tingkat global. Menurut laporan World Competitiveness Ranking 2023 dari IMD, sistem pendidikan di Singapura berada pada urutan ketiga di dunia, unggul jauh dibandingkan Indonesia.
Di Indonesia, siswa adalah kelompok yang paling merasakan dampak dari ketidakstabilan kurikulum ini. Bayangkan mereka belajar dengan sistem yang belum sepenuhnya dipahami oleh para guru, materi yang tidak terstruktur dengan baik, dan penilaian yang kerap berubah. Banyak siswa yang merasa tertekan karena harus menyesuaikan diri dengan standar baru yang tidak jelas arahnya. Berdasarkan survei UNICEF Indonesia pada tahun 2022, lebih dari 30% siswa merasa stres akibat meningkatnya beban akademis saat beralih ke Kurikulum Merdeka. Mereka juga merasakan kurangnya bimbingan dan informasi yang memadai. Pengaruh jangka panjang dari situasi ini adalah berkurangnya rasa percaya diri siswa dan ketidaksiapan menghadapi tingkat pendidikan yang lebih tinggi maupun dunia kerja.
Pendidikan merupakan landasan bagi masa depan bangsa. Oleh karena itu, sistem pendidikan seharusnya tidak ditentukan oleh kepentingan individu atau kebijakan politik semata. Diperlukan pendekatan yang komprehensif, berkelanjutan, dan berdasarkan evaluasi nyata di lapangan. Kurikulum yang baik adalah yang dibuat secara partisipatif, terencana, dan memiliki masa transisi yang memadai. Pemerintah dan para pemangku kebijakan seharusnya tidak bersaing dalam membuat perubahan hanya untuk citra dan reputasi. Prioritas utama haruslah menciptakan sistem yang konsisten dan dapat beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Konsistensi dalam kurikulum tidak berarti stagnasi, melainkan membangun fondasi yang kuat agar siswa dapat berkembang dengan arah yang jelas.
Mari kita berhenti menjadikan pendidikan sebagai tempat untuk menguji kebijakan politik. Saatnya untuk membangun sistem yang stabil, adil, dan berorientasi pada masa depan. Karena sejatinya, konsistensi sistem pendidikan bukan soal mempertahankan status quo, melainkan memberikan ruang aman bagi pelajar untuk berkembang dan mempersiapkan diri menjadi warga bangsa yang siap bersaing secara global.