Setiap tahun, ribuan siswa kembali ke kelas dengan satu bayang-bayang yang terus menghantui: peringkat. Di banyak sekolah, sistem ranking masih menjadi standar utama untuk mengukur “kepintaran.” Siapa yang rangking satu dielu-elukan, siapa yang tak masuk lima besar dianggap “biasa saja.” Padahal, di balik angka-angka itu, ada potensi unik yang kerap diabaikan.
Sistem pendidikan kita seolah masih percaya bahwa sukses hanya datang dari nilai akademik. Padahal, data dari OECD melalui studi PISA 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke-72 dari 77 negara dalam hal literasi dan matematika. Ini bukan semata soal kapasitas siswa, tapi juga tentang pendekatan pendidikan yang belum menyeluruh terlalu terpaku pada angka, lupa pada karakter dan bakat personal.
Lebih parah lagi, tekanan akibat sistem ini berimbas pada kesehatan mental siswa. Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2023) mencatat satu dari tiga siswa mengalami stres karena tuntutan akademik. Rapor merah bisa membuat anak merasa tidak berharga, meski ia memiliki empati tinggi, kreativitas besar, atau semangat kerja sama yang luar biasa.
Sudah saatnya kita meninggalkan paradigma lama. Pendidikan seharusnya bukan soal “siapa paling tinggi nilainya,” tapi tentang siapa yang paling berkembang sesuai potensinya. Untuk itu, sistem evaluasi harus direformulasi.
Pertama, sistem peringkat bisa digantikan dengan profil potensi siswa: catatan kekuatan, minat, dan capaian non-akademik setiap anak. Ini lebih manusiawi dan memberi ruang bagi semua tipe kecerdasan. Konsep Multiple Intelligences dari Howard Gardner dapat menjadi dasar dalam merancang kurikulum yang adil bagi siswa visual, kinestetik, musikal, maupun interpersonal.
Kedua, pendidikan karakter harus diarusutamakan, bukan sekadar formalitas upacara atau pelajaran PKN. Kolaborasi, keberanian menyampaikan ide, atau inisiatif sosial, adalah bentuk prestasi yang juga layak diapresiasi.
Tentu perubahan ini tak bisa berdiri sendiri. Diperlukan dukungan dari Kemendikbudristek untuk meninjau ulang sistem evaluasi nasional, serta pelatihan bagi guru untuk lebih memahami ragam kecerdasan anak. Orang tua pun perlu mengubah sudut pandangnya: anak tidak harus jadi rangking satu untuk disebut berhasil.
Bayangkan jika semua siswa pulang dari sekolah dengan rasa percaya diri, bukan karena nilai sempurna, tapi karena mereka tahu bakat mereka dihargai. Dunia tidak peduli kamu rangking berapa. Dunia hanya peduli: kamu bisa apa.