Pendidikan sains di Indonesia tengah mengalami pergeseran paradigma: dari yang sebelumnya bersifat teoritis dan textbook-oriented, kini mulai diarahkan ke konteks yang lebih membumi dan bermakna. Salah satu bukti nyata dari transformasi ini adalah modul ajar yang disusun oleh Bintang Oktaviani dari SMA Negeri 16 Pekanbaru, yang mengangkat tema Fermentasi Tempoyak sebagai Produk Bioteknologi Tradisional Masyarakat Melayu.
Sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi, saya sangat mengapresiasi pendekatan ini. Tempoyak—hasil fermentasi buah durian yang kaya akan nilai budaya dan ekonomi—bukan hanya menjadi bahan ajar yang menarik, tetapi juga merupakan pintu masuk untuk mengenalkan konsep bioteknologi kepada siswa melalui praktik lokal yang mereka kenal sehari-hari. Dalam modul ini, siswa diajak mempelajari perbedaan antara bioteknologi konvensional dan modern, serta mengamati langsung proses fermentasi yang secara ilmiah melibatkan mikroorganisme.
Modul ini tidak hanya mengajarkan konsep ilmiah, tetapi juga memperkuat nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila seperti gotong royong, kemandirian, dan bernalar kritis. Pembelajaran dilakukan menggunakan model Problem Based Learning, yang mendorong siswa bekerja dalam tim, memecahkan masalah nyata, dan mempresentasikan hasilnya. Bagi saya, ini adalah contoh pembelajaran abad ke-21 yang seharusnya menjadi standar baru di ruang-ruang kelas Indonesia.
Namun, di balik kekaguman saya terhadap modul ini, muncul pertanyaan reflektif: mengapa belum banyak guru yang mengambil pendekatan serupa? Padahal Indonesia kaya akan tradisi lokal yang sangat potensial untuk dijadikan bahan ajar sains. Barangkali kita terlalu lama terpaku pada kurikulum yang tidak fleksibel, atau kurangnya pelatihan bagi guru untuk mengembangkan materi kontekstual.
Saya percaya, jika modul-modul seperti ini terus dikembangkan dan disebarluaskan, kita akan melahirkan generasi ilmuwan muda yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga punya akar budaya yang kuat. Ilmu pengetahuan tidak harus tercerabut dari nilai-nilai lokal. Justru ketika sains diajarkan dengan membumi, siswa akan lebih mudah memahami, mencintai, dan bahkan mengembangkan inovasi dari hal-hal yang ada di sekitarnya.
Modul fermentasi tempoyak ini bukan hanya tentang bioteknologi. Ia adalah simbol dari harapan baru pendidikan kita: pendidikan yang berpijak pada budaya sendiri, tetapi menatap masa depan dengan penuh percaya diri.
Oleh: Bintang Oktaviani
Mahasiswa Pendidikan Biologi, Universitas Lancang Kuning