Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena “fresh graduate harus punya pengalaman” semakin marak diperbincangkan, baik di media sosial maupun dalam diskusi akademik dan profesional. Banyak lowongan pekerjaan yang secara eksplisit ditujukan untuk lulusan baru, namun tetap mencantumkan syarat memiliki pengalaman kerja minimal satu hingga dua tahun. Situasi ini menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar “Bagaimana mungkin seseorang yang baru lulus bisa memiliki pengalaman kerja profesional yang panjang?”
Pengalaman sebagai Indikator Kesiapan
Dari sudut pandang perusahaan, permintaan akan pengalaman bukanlah tanpa alasan. Dunia kerja membutuhkan individu yang siap pakai, dapat langsung beradaptasi dengan ritme kerja, dan mampu menyelesaikan tugas tanpa perlu pelatihan intensif. Di tengah situasi yang ingin serba cepat, mempekerjakan kandidat berpengalaman dinilai lebih efisien secara waktu dan biaya.
Selain itu, istilah “pengalaman” pun kadang tidak selalu berarti kerja tetap di perusahaan besar. Banyak HR melihat pengalaman dalam arti luas, termasuk magang, freelance, organisasi kampus, proyek independen, hingga volunteer.
Harapan yang Tak Seimbang
Di sisi lain, para fresh graduate merasa terjebak dalam situasi yang membingungkan. Mereka diminta memiliki pengalaman, namun akses untuk mendapatkan pengalaman itu sendiri sering kali terbatas. Tidak semua mahasiswa memiliki kesempatan magang yang layak, apalagi pekerjaan yang didapat seringkali tidak relevan dengan jurusan mereka. Akibatnya, banyak lulusan baru merasa minder atau bahkan frustasi menghadapi realitas rekrutmen yang seolah tidak berpihak.
Beberapa juga mengeluhkan bahwa ekspektasi perusahaan terhadap fresh graduate terkesan “berlebihan”, mulai dari multi skill, leadership, hingga dapat bekerja dibawah tekanan, padahal mereka masih dalam tahap transisi dari dunia akademik ke profesional.
Mencari Titik Temu
Sebenarnya, ada cara-cara untuk menjembatani harapan industri dan kondisi fresh graduate. Salah satunya adalah memperkuat program magang yang terintegrasi dengan kurikulum perguruan tinggi, serta mendorong kampus untuk lebih adaptif terhadap kebutuhan dunia kerja. Di sisi lain, perusahaan bisa membuka jalur onboarding khusus untuk lulusan baru, dengan sistem pelatihan dan mentoring yang terstruktur.
Selain itu, perlu ada edukasi dari dua arah mahasiswa didorong aktif mencari pengalaman sedini mungkin, sementara HR dan perusahaan perlu menyadari bahwa potensi jangka panjang juga penting bukan hanya pengalaman masa lalu.
Bukan Soal Siapa yang Salah
Fenomena ini bukan tentang siapa yang salah atau siapa yang menuntut terlalu banyak. Ini soal bagaimana dunia pendidikan dan industri bisa saling memahami dan bekerja sama. Fresh graduate bukan berarti “kosong”, dan pengalaman kerja bukan satu-satunya indikator kemampuan seseorang. Di tengah perubahan zaman dan kebutuhan tenaga kerja yang dinamis, pendekatan yang lebih inklusif dan realistis tampaknya menjadi solusi yang lebih berkelanjutan.