Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat Indonesia masih menghadapi tantangan klasik yang belum juga usai, rendahnya literasi kritis. Meski generasi muda saat ini tumbuh dikelilingi oleh teknologi dan akses internet yang melimpah, kemampuan untuk memahami, menyaring, dan menilai informasi secara objektif masih jauh dari ideal.
Kita hidup dalam era yang ironis. Informasi begitu mudah ditemukan, namun kesalahan informasi (hoaks) tersebar lebih cepat dari klarifikasinya. Fenomena ini memperlihatkan satu hal penting, melek huruf tidak berarti melek literasi.
Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia pada peringkat 69 dari 81 negara dalam hal kemampuan membaca dan berpikir kritis. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun banyak yang bisa membaca teks, tidak banyak yang benar-benar memahami makna di baliknya.
Sementara itu, survei Katadata Insight Center (2023) mencatat bahwa 62% responden pernah percaya hoaks, dan separuh di antaranya bahkan sempat menyebarkannya kembali. Ini menandakan bahwa literasi bukan hanya soal “membaca”, tapi soal bagaimana seseorang mencerna dan menilai informasi secara bijak
Literasi yang dibutuhkan saat ini adalah literasi yang kritis dan reflektif. Masyarakat harus mampu mengajukan pertanyaan sederhana sebelum mempercayai sebuah informasi:
“Apakah ini fakta atau opini?”
“Apa sumbernya?”
“Apakah ini narasi tunggal yang manipulatif?”
Tanpa kemampuan seperti ini, kita mudah terbawa arus narasi, mudah terprovokasi, dan pada akhirnya menjadi bagian dari rantai penyebaran disinformasi yang tidak berkesudahan.
Membangun literasi kritis tidak dapat dibebankan sepenuhnya pada lembaga pendidikan formal. Upaya ini memerlukan keterlibatan bersama dari berbagai pihak secara kolektif.
- Pendidikan formal perlu memasukkan literasi media dan berpikir kritis sebagai bagian dari kurikulum, bukan pelajaran tambahan.
- Orang tua dan guru perlu berperan aktif sebagai kurator informasi bagi anak-anak dan remaja mengajak berdiskusi, bukan sekadar memberi larangan.
- Platform digital juga perlu aktif memoderasi dan memberikan edukasi, bukan hanya menjadi wadah yang bebas nilai.
Di era digital, kemampuan literasi kritis bukan hanya soal akademis, ini adalah soal bertahan sebagai warga negara yang sadar, logis, dan bertanggung jawab. Bila masyarakat hanya mampu membaca tanpa berpikir, maka demokrasi bisa runtuh oleh banjir hoaks dan propaganda.
Saatnya kita ubah pemahaman lama, melek literasi bukan sekadar bisa baca, tapi bisa bertanya, menimbang, dan mengambil sikap yang berdasar.