Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding mendorong masyarakat terutama generasi muda dan lulusan perguruan tinggi untuk mempertimbangkan bekerja di luar negeri sebagai solusi pengurangan angka pengangguran, menuai pro dan kontra di tengah publik. Terutama jika melihat data ketenagakerjaan nasional yang menunjukkan tantangan serius di dalam negeri. Pernyataan tersebut menimbulkan kekecewaan dan kebingungan di tengah masyarakat, terlebih saat pemerintah melalui Wakil Presiden menjanjikan penciptaan 19 juta lapangan kerja di dalam negeri. Bagaimana mungkin, di saat rakyat menunggu realisasi janji tersebut, menterinya malah menyuruh rakyat “hijrah” ke luar negeri?
Hingga Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, atau setara dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,76% menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Angka pengangguran ini naik sekitar 83 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya, meskipun jumlah angkatan kerja juga bertambah menjadi 153,05 juta orang. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan angka pengangguran Indonesia akan naik menjadi 5% pada 2025, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pengangguran tertinggi kedua di Asia setelah China.
Kebijakan mendorong masyarakat bekerja di luar negeri ini seolah menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan tanggung jawab utamanya, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warganya sendiri. Data dan survei terbaru membuktikan bahwa penciptaan lapangan kerja di dalam negeri semakin sempit, terutama di sektor formal. Banyak lulusan baru dan angkatan kerja terpaksa bekerja di sektor informal atau gig economy yang tidak memberikan jaminan kesejahteraan dan rentan eksploitasi. Alih-alih memperbaiki kondisi ini, pemerintah justru mengalihkan masalah dengan mendorong migrasi tenaga kerja.
Dengan memperbanyak lowongan kerja, memberikan pelatihan dan sertifikasi, serta mendukung UMKM dan investasi, pemerintah dapat mengurangi pengangguran, meningkatkan kesejahteraan, dan memperkuat ekonomi nasional. Jika pemerintah abai terhadap tanggung jawab ini, Indonesia akan terus kehilangan bonus demografi dan masa depan generasi mudanya.
Sikap pemerintah yang lebih memilih mengirim tenaga kerja ke luar negeri daripada memperjuangkan hak rakyat untuk bekerja di tanah air sendiri jelas menunjukkan lemahnya visi dan komitmen terhadap pembangunan ekonomi nasional. Di tengah bertambahnya angkatan kerja dan angka pengangguran yang masih tinggi, membuka lebih banyak peluang kerja di sektor formal, industri kreatif, pertanian modern, dan UMKM adalah langkah yang jauh lebih strategis dan berkelanjutan.
Jika pemerintah hanya mengandalkan remitansi dari pekerja migran tanpa memperbaiki ekosistem ketenagakerjaan nasional, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus pengangguran dan kehilangan potensi bonus demografi. Sudah saatnya pemerintah berhenti mencari solusi instan dan mulai bertanggung jawab penuh untuk memperluas lapangan kerja di tanah air, agar rakyat tidak perlu “mengadu nasib” di negeri orang.
Kesimpulannya, imbauan Menteri Karding agar masyarakat mencari kerja di luar negeri bukanlah solusi yang tepat dan justru mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan tugas utama menciptakan lapangan kerja di dalam negeri. Pemerintah harus fokus dan serius membuka lebih banyak lapangan pekerjaan yang berkualitas di Indonesia, bukan malah mengalihkan masalah dengan mendorong migrasi tenaga kerja ke luar negeri.